Motto
Selasa, 05 November 2013
MUNASABAH AWAL TAHUN HIJRIYAH 1435 H
Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag
(Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat Kemenag RI, Pengasuh Pesantren Daarun Najaah Semarang).
Setiap memasuki tahun baru Islam (bulan Muharram) sudah menjadi tradisi bagi kaum muslim untuk melakukan do’a yang disebut do’a awal dan akhir tahun. Do’a tersebut dengan harapan untuk revitalisasi kadar keimanan dan agar dosa-dosa yang pernah dilakukan selama satu tahun yang lalu dapat lebur dan membuka lembaran tahun baru dengan aktifitas yang lebih baik lagi.
Namun bagi muslim Jawa, momentum tahun baru semacam ini ternyata tidak hanya digunakan untuk membaca do’a akhir dan awal tahun saja, tapi banyak melakukan tirakatan-tirakatan atau lakon-lakon (merujuk klasifikasi Clifford Geertz bahwa di masyarakat Jawa terklasifikasi menjadi kaum Santri, Priyayi dan Abangan). Misalnya lakon ngumbah keris (perilaku mencuci keris), lakon ngumbah pusaka (mencuci pusaka), lakon ngumbah aqiq (mencuci batu permata) , lakon topo (bertapa / bersemedi), lakon kungkum (meredam di dalam air), memulai tirakat poso dalail (puasa satu tahun penuh kecuali hari raya dan hari tasyrik), lakon membuat rajah (sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan) dan masih banyak lagi lakon-lakon atau tirakatan-tirakatan yang lain. Termasuk tradisi membuat Bubur Suro oleh masyarakat jawa atau upacara tobat (Minangkabau : tabuik). Ini semua karena adanya yakin – conviction - bahwa momentum bulan Syuro ( sebutan bulan pertama dalam kalender hijriyyah - bulan Muharram - menurut orang Jawa ) dapat mendatangkan “berkah”, dapat mendatangkan “kasekten/Kadigjayaan” (kekuatan). Sehingga tidak berlebihan manakala banyak orang yang menunggu kehadirannya terutama oleh mereka pengamal tirakatan atau lakon-lakon tersebut.
Oleh karena itu, dengan datangnya tahun baru hijriyyah (1435 H) yang berarti memasuki tahun baru Hijriyah (disebut bulan Syuro menurut orang Jawa), kiranya sangatlah tepat manakala dijadikan sebagai momentum tirakatan bagi bangsa kita dengan melakukan muhasabah kadar keimanan kita. Dengan intropeksi: sudah baikkah kadar keimanan kita selama ini kepada Allah? Apakah kita masih berbuat dlalim yang dapat mengurangi kadar keimanan kita? Mengingat sampai sekarang begitu banyak musibah-musibah yang masih melanda bangsa kita ini. Karena sebagaimana pesan Allah yang terkait dengan cerita kaum Saba yang semestinya diberi Allah berkah yang banyak, namun karena mereka berpaling ( tidak takwa – yang berarti melakukan kedhaliman ) maka Allah memberikan musibah (surat Saba’ 15-16). Pesan ini selaras dengan pernyataan Alexis Careel bahwa jika pengabdian kepada Allah disingkirkan dari tengah kehidupan masyarakat, maka hal itu berarti menandatangani kontrak kehancuran sendiri.
Asal Usul Syura
Syuro merupakan nama bulan pertama dalam kalender Jawa yang sekarang berprinsip Asapon tidak Aboge lagi. Kalender Jawa tersebut (yang disebut juga kalender Soko) asal muasalnya merupakan kalender Jawa Hindu yang berdasarkan pada peredaran matahari (kalender Syamsiyah). Namun sejak 1043 H / 1633 M ketepatan tahun 1555 tahun Soko, oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma diassimilasikan berdasarkan peredaran bulan (menjadi kalender Qomariyah). Selanjutnya menjadi Kalender Jawa Islam. (Baca Alfred A Knopt, h. 282-284). Sehinga muncul impression identifikasi dalam kalender Islam murni ( kalender hijriyyah )
Istilah bulan Syuro dalam kalender Jawa (bulan Muharam dalam istilah kalender Hijriyah) kalau dilacak itupun berasal dari istilah Islam. Bahkan berasal dari penggalan sabda nabi “Asyura Yaumul Asyir”. Istilah Asyuro adalah hari kesepuluh dari bulan Muharam. Di mana pada tanggal 10 Muharam tersebut terdapat banyak mitos yang terkait banyak dengan kemukjizatan para nabi. Dalam hadits lain juga disabdakan “Asyuro adalah hari raya kemenangan para nabi sebelum kamu semua”.
Menurut Hasan al-Fayumy dalam Nazhat al-Majalis, istilah syuro berasal dari kata “’Asya Nurran” (Hidup Dalam Cahaya Allah). Inipun berpijak pada banyaknya mitos para nabi yang terjadi pada tanggal 10 Muharram. Sehingga istilah Syuro pada dasarnya merupakan penamaan yang berpijak pada momentum tanggal 10 Muharaam yang penuh dengan mitos-mitos religius.
Mitos religius yang muncul pada tanggal 10 Muharam tersebut menurut al-Shohib al-Jawahir al-Makiyyah, di antaranya : peristiwa pertama kali Allah menciptakan manusia yakni nabi Adam sekaligus memerintahkannya untuk menetap di Surga. Ada peristiwa penciptaan bumi dan alam seisinya. Ada peristiwa mendaratnya kapal nabi Nuh di gunung al-Judy setelah peristiwa banjir bandang yang menenggelamkan dunia. Ada peristiwa penyelamatan nabi Ibrahim oleh Allah dari kobaran api. Ada peristiwa penyelamatan nabi Yunus keluar dari perut ikan besar setelah beberpa hari ada di dalamnya. Ada peristiwa penyelamatan nabi Ayub dari penyakit kulit yang sangat parah yang menimpanya semenjak lahir. Ada peristiwa keluarnya nabi Yusuf dari sumur setelah beliau dimasukkan oleh saudara-saudaranya karena iri dengki dengannya. Ada peristiwa penyembuhan mata nabi Ya’kub. Ada peristiwa pertolongan Allah kepada nabi Musa dengan memiyak (membongkar) lautan untuk keselamatan nabi Musa dan kaumnya dan menenggelamkan raja Fir’aun serta pasukannya.
Sehingga tidaklah berlebihan manakala muncul banyak hadis nabi yang menganjurkan untuk menggunakan momentum tersebut untuk berpuasa. Di antaranya hadits : “ Asyuro’u ‘Idu nabiyyin qablakum fa shumuuhu antum”. Ada hadits: "Barang siapa puasa pada hari Asyura maka Allah mencatatnya sebagai ibadah haji seribu kali, umroh seribu kali, diberi pahala bagai seribu orang mati syahid, dan masih banyak lagi”. Intinya berisi anjuran untuk berpuasa pada bulan Muharram terutama pada tanggal sepuluh (Asyuro).
Dari mitos-mitos inilah kiranya, muncul bulan Muharam yang dikenal dengan bulan Syuro dianggap “keramat” dan membawa “berkah”, sehingga digunakan untuk memulai tirakatan atau lakon-lakon sebagaimana tersebut di atas baik oleh kaum santri maupun kaum muslim Jawa (Kejawen).
Berkah Syura
Merujuk pada banyak mitos syura tersebut, kiranya tidaklah berlebihan manakala di awal tahun baru Hijriyyah (1435 H sekarang ini) kita jadikan momentum muhasabah dengan melakukan tirakatan-tirakatan untuk mendapatkan berkah syuronya.
Apa yang perlu kita muhasabahi atau kita intropeksi?Jika kita merujuk pada pesan cerita kaum Saba yang selaras dengan pernyataan Alexis Carrel, kiranya muhasabah kadar keimanan kita kiranya yang perlu kita dahulukan. Sehingga dengan prinsip “memulailah dari diri kita sendiri” kiranya perlu kita pertanyakan pada diri kita : Sudah tidak dlalimkah kita kepada Allah ? Sudah tidak dlalimkah kita pada diri sendiri ? Sudah tidak dlalimkah kita pada sesama kita ? Sudah tidak dlalimkah kita pada lingkungan sekitar kita ? Mengapa demikian, karena merujuk pada beberapa pengertian kedlaliman dalam Al-Qur’an ternyata memang itulah bentuk-bentuk kedlaliman. Dan kedlaliman itulah yang menghancurkan kebahagian kita sendiri, sebagaimana pesan Allah dalam surat al-Hijr:78-79 bahwa kehancuran penduduk Aikah karena kedlalimanya sendiri.
Marilah momentum tahun baru Hijriyah sekarang ini kita jadikan momentum muhasabah kita untuk meningkatkan kadar keimanan kita yang tidak bias dalam kedlaliman. Hal ini selaras dengan tema Nasional Peringatan Tahun Baru Islam yang diusung oleh Kementerian Agama yakni Tahun Baru Hijriyah sebagai Evaluasi dan Semangat Melakukan Perubahan Diri. Semoga momentum tahun baru Hijriyah 1435 H ini dapat benar-benar membawa berkah bagi kita semua. Amin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar